Allahu Akbar
Di atas Langit Australia, 8 Oktober 2002
Aku terperangah menyaksikan akhir film Autumn in New York. Tragis dan
menyedihkan. Richard Gere yang melakonkan Will Keane, juragan restoran setengah
baya di New York itu, harus menangis karena kekasihnya Winona Ryder yang
melakonkan Charlotte Fielding yang masih belia meninggal karena penyakit kronis
yang dideritanya.
Aku teringat Cindy, istri Australia-ku yang kunikahi empat tahun silam. Empat
tahun menikah, tak sekalipun ia mau ke Indonesia. Pun sekarang, saat aku harus
ke Bandung untuk menikahkan Sarah, adik bungsuku.
Cindy adalah tipikal perempuan Aussie. Mandiri, humanis, fair, assertif,
namun begitu cuek dengan keluarga. Jangankan urusan pernikahan, ketika ayah
meninggal empat bulan silam-pun Cindy enggan ke Jakarta. "Take it easy, Tommy,
semua orang pasti mati," katanya santai.
Cindy tumbuh dalam keluarga broken home. Ayah ibunya bercerai ketika Ia
berusia tiga tahun. Cindy tumbuh matang dan mandiri. Ia bekerja dan belajar 16
jam sehari. Tanpa keluhan. Pagi hari bersekolah, sore dan malam hari menjadi
pelayan restoran. Ia menamatkan high school-nya dan melanjutkan ke School of
Law, di Sydney hingga mencapai gelar master bidang hokum internasional dengan
predikat summa cum laude. Sesudahnya, dunia begitu ramah bagi Cindy. Hampir
semua law firm besar di kota ini melamarnya.
Cindy memilih salah satu yang terbesar. Semuanya berjalan begitu lugas, sampai
ia bertemu aku yang dikirim untuk studi S-3 dan magang di kantor mitra asing
kami di Sydney, Krueger and Associates.
Studi di University of New South Wales sambil magang bukanlah pekerjaan
mudah. Aku hampir tak memiliki waktu untuk kehidupan sosialku. Aku nyaris tak
punya waktu untuk manusia. Kecuali tiga jam saja setiap pekan, ketika shalat
Jum'at di Masjid Indonesia Wabash Street, dan pengajian Ahad.
Pada saat-saat sibuk itu, ternyata ada sepasang mata yang selalu
memperhatikanku. Aku tak sadar sampai pemilik mata biru ini menegurku dengan
bahasa Inggris aksen Australia yang khas. "Mengapa anda selalu menggelar kain
merah dan sujud ke arah barat laut setiap pukul dua siang, lima sore, delapan
sore, dan sembilan malam? Apakah anda pengikut suatu aliran kepercayaan di Asia
Selatan?" Tanya pemilik mata biru tersebut setengah menyelidik.
"Oh No. Saya seorang muslim. Seorang muslim wajib melaksanakan ibadah shalat
lima kali setiap hari," jawabku sedikit heran. Tak biasa wanita Aussie membuka
percakapan dengan pria asing.
Kemudian dialog pun mengalir lancar. Si mata biru itu ternyata Cindy Stuart
Masterson, junior lawyer di Krueger sekaligus kandidat Doktor di UNSW.
Perjumpaan yang semakin sering membuat kami saling tertarik, sampai Suatu
hari Cindy menanyaiku serius, "Tommy, will you marry me?" Aku kontan gelagapan.
Akhirnya, aku hanya berkata, " Ah, ya. Insya Allah!"
Kami menikah pada 21 Februari 1997. Sepekan setelah Iedul Fitri 1417 H. Dua
hari sebelumnya Cindy mengucapkan dua kalimat syahadat di Masjid Wabash Street.
Imam masjid memberinya nama Aisyah Muthmainah.
Setahun pertama pernikahan, kami adalah pasangan yang amat harmonis. Petaka
mulai timbul setelah anak pertama kami lahir. Aku ngotot memberinya nama Islam,
Faiz atau Raihan. Cindy protes. "Aku akan memberinya nama Ian."
Aku malas berdebat. Setelah kejadian itu Cindy menjadi sangat berkuasa. Cindy-
lah yang menentukan Ian sekolah dimana. Makan apa. Boleh ke masjid atau tidak.
Ketika anak kedua kami lahir, aku ingin memberinya nama Nadia atau Yasmin,
yang kurasa agak akrab dengan telinga Australia. "No, Tommy. Namanya Nicole. Ia
akan seperti Nicole Kidman. Mudah-mudahan ia akan mulus menapak Hollywood
seperti Nicole Kidman," lanjut Cindy santai.
Cindy semakin sulit diatur. Janjinya untuk belajar Islam, membaca Al Qur'an,
dan shalat tak pernah terwujud. Ia pun membatasi Ian dan Nicole untuk
berinteraksi dengan komunitas muslim Indonesia. Rencanaku untuk membawanya
pindah ke kawasan muslim Lakemba juga ditolaknya mentah-mentah.
Kesabaranku habis saat Cindy enggan ta'ziah ke Bandung saat ayah meninggal
empat bulan yang lalu. Pekerjaannya terlalu berharga baginya. Mertuanya tak
lebih berharga dari appointment dan contract yang harus dibuatnya. Tragisnya,
Cindy melarang aku membawa Ian dan Nicole dengan alasan takut terkena virus
tropis Indonesia. Dua minggu kemudian aku meninggalkan rumah tanpa pamit. Sudah
hampir tiga bulan aku 'menggelandang' dari rumah ke rumah teman-teman
Indonesiaku. Malam hari aku tidur di masjid, siang belajar di UNSW. Aku tak
pernah lagi ke Krueger and Associates. Aku belum sanggup bertemu Cindy.
Permintaan Sarah via e-mail sepekan silam menghentikan petualanganku. Aku
senang pulang ke Indonesia. Satu saja yang membuatku resah. Permintaan Sarah
bawa Teh Cindy, Ian, dan Nicole, ya Mas'!
Bandung, 11 Oktober 2002
Pernikahan Sarah dan Syamsul tergolong unik. Perkenalan, lamaran, dan akad
nikah semuanya berlangsung kilat. Tukar menukar biodata berlangsung via
internet, telepon dan teleconference. Baru empat hari mereka berjumpa. Allah
menyatukan hati mereka kendati mereka tak sempat mengenal lama satu sama lain.
Aku 'cemburu' melihat kemesraan Sarah dan Syamsul. Sedangkan aku? Pergi dari
Sydney seorang diri setelah 'terusir' dari rumah. Meninggalkan istri dan dua
anak yang masih balita tanpa pamit.
Sabtu, 12 Oktober 2002
Aku berkemas-kemas. Sore nanti flight Ansett Aussie 247 tujuan Sydney telah
menungguku di Bandara Soekarno Hatta. Aku tengah memasukkan oleh-oleh Ibu ke
dalam tas, ketika berita tentang meledaknya bom di Bali kudengar di televisi.
Innalillahi, Bali diserang? Dan kebanyakan korbannya adalah warga Australia.
Negeri keduaku...tanah tumpah darah istriku.
Belum habis rasa terkejutku, setengah jam kemudian aku mendengar semua
penerbangan ke Australia ditunda sampai waktu yang tak ditentukan.
Senin, 14 Oktober 2001
Headlines Sydney News yang aku baca via internet sungguh mengejutkanku.
Gelombang anti muslim dan anti Indonesia yang merebak di seluruh Australia pasca
ledakan bom di Bali memakan korban warga muslim mancanegara yang tinggal disana.
Islamic Center dan Masjid di Brisbane-Queensland diserang. Juga di Perth,
Western Australia. Kata-kata kotor dituliskan di tembok masjid, bahkan kotoran
manusia dilemparkan ke masjid.
Beberapa muslim Indonesia di Sydney, Melbourne, dan Perth diinterograsi oleh
dinas intelijen Australia. Beberapa diinterogasi dan digeledah rumahnya dengan
sangat tidak manusiawi.
Aku murka, sekaligus sedih. Aku teringat shohibku di Masjid, Buranda-Holland
Park. Terbayang wajah Imam Masjid Brother Abdul Quddus. Juga Brother Dwi dan
Seno di University of Queensland.
Rabu, 16 Oktober 2002
Subuh aku tiba kembali di Australia. Petugas imigrasi menginterogasiku habis-
habisan. Dia bertahan bahwa aku tak bisa masuk ke Australia karena status visa-
ku tidak jelas. Aku ngotot. Aku adalah permanent resident dan bisa menjadi
citizen karena menikah dengan wanita Australia. Juga, bahwa aku adalah lawyer
dan kandidat doktor di bidang hukum yang bisa menggugatnya ke pengadilan.
Ternyata yang terakhir itu mujarab.
Sabtu, 19 Oktober 2002
Hari ini aku giliran jaga malam di masjid Wabash Street. Masjid ini
berulangkali menerima ancaman. Jum'at kemarin satu grup pemuda rasis bolak-balik
di depan masjid sambil menunjuk-nunjuk masjid. Jarum jam menunjukkan pukul dua
dinihari. Aku membangunkan Brother Bahri untuk bergantian ronda. Lalu bersiap
shalat malam. Dari samping tempat wudhu kudengar suara-suara slank Australia dan
bunyi cat disemprotkan. Aku menyeret Brother Bahri keluar masjid. Sederet kata-
kata kotor di tembok mesjid yang dibuat dengan cat pylox yang masih basah. Kata-
kata kasar keluar dari empat mulut berbau minuman keras. Mereka juga
mengeluarkan double stick dan pisau.
Kami bersiap menghadapi mereka. Tidak lama kemudian kami telah terlibat
perkelahian. Syukurlah, lawan kami tak begitu lihai. Dalam dua menit si tinggi
besar roboh. Tragisnya, pisau yang dipegangnya menikam dirinya sendiri.
Aku terhenyak. Kenapa sampai sejauh ini? Raungan sirene polisi semakin dekat.
Kami digelandang ke kantor polisi terdekat.
Selasa, 22 Oktober 2002
Tiga hari kami menginap di kantor polisi. Tuduhannya : penganiayaan dan
percobaan pembunuhan ! Selama itu kami tetap bungkam. Aku hanya mau bicara kalau
aku didamping oleh pengacara. Polisi memberi waktu hingga Kamis jam dua belas
siang. Jika kami tidak mendapat pengacara, polisi akan menyediakan pengacara
negara. Akankah mereka berpihak pada kami? Aku tidak yakin.
Teman-teman kami telah menghubungi hampir semua pengacara, tapi nihil.
Sebenarnya ini perkara biasa. Tapi setting sosial politik-nya tidak biasa.
Beribu orang mencaci kami. Gelombang aksi massa menyerbu kantor polisi.
Kamis, 24 Oktober 2002
Hampir jam 12.00. Aku masih belum punya pengacara. Semenit sebelum pukul dua
belas. Langkah-langkah panjang polisi penjara memasuki lorong. "Yeah, lady ini
mengajukan diri untuk menjadi pengacara anda," 'Namanya Lady Cindy Stuart
Masterson!" Aku tertegun.
Kamis, 5 Desember 2002
Hari ini sidang terakhir. Setelah sebulan lebih menghadiri sidang, kini aku
dan Brother Bahri menanti putusan hakim. Aku dituntut tujuh tahun penjara atas
tuduhan penganiayaan dan percobaan pembunuhan. Brother Bahri dituntut empat
tahun penjara atas tuduhan penyertaan dalam penganiayaan dan percobaan
pembunuhan.
Alhamdulillah, sejak pemeriksaan polisi, pemeriksaan district attorney
(kejaksaan) hingga pengadilan di district court aku selalu didampingi Cindy.
Pengacara muda lulusan terbaik School of Law UNSW dan sebentar lagi menggaet
Ph.D di bidang hukum. Dan, yang terpenting, ia istriku!
Cindy memang luar biasa. Kemampuan beracara-nya sangat piawai. "Yang mulia,
terdakwa harus dibebaskan dari semua tuduhan karena telah terbukti ia tak
sedikitpun memiliki niat untuk menganiaya ataupun membunuh. Ia hanya self
defense, membela diri karena empat orang berandal menyerang masjid-nya."
"Yang mulia, terdakwa harus dibebaskan dari semua tuduhan, pisau itu tidak
digenggamnya, bukan miliknya dan tidak diarahkan untuk menusuk korban. Lihat,
tak ada satupun sidik jarinya di pisau tersebut. Pisau itu menancap ke tubuh
korban oleh peran korban sendiri.
"Yang mulia, ini tak adil. Terdakwa hanya membela diri dan rumah ibadahnya.
Sementara keempat penyerangnya merusak rumah ibadahnya dan menyerangnya denga
pisau dan double stick. Kedua terdakwa hanya melawan dengan tangan kosong. Ini
tidak seimbang. Ini bela paksa. Sekarang mereka berdua jadi pesakitan, sementara
sang penyerang masih bebas berkeliaran.
"Yang mulia, korban sekarang sudah sembuh dari lukanya. Ia berfikir semua
muslim militan, dan kejam. "Yang Mulia, itu adalah prasangka. Kalaupun memang
benar, bolehkah kita menggeneralisir? menghukum seluruh muslim di seluruh dunia
atas kejahatan sekelompok radikal muslim? Ini absurd, irrasional, Yang Mulia.
Saya keberatan sekali!
"Yang Mulia, masjid bagi umat Islam adalah tempat yang sakral. Menyerang
tempat ibadah adalah kejahatan HAM Yang Mulia. Crime against humanity and Gross
Violation of Human Right. .........
Setengah jam kemudian hakim District Court Sydney membebaskan kami dari
tuduhan. Aku dan Brother Bahri menangis terharu. Cindy memelukku. Pers memotret
kami. Gelombang massa rasis dan ultranasionalis berteriak memprotes putusan
hakim. Aku sujud syukur.
Jum'at, 6 Desember 2002
Sydney di akhir musim semi. Sydney Bridge berdiri dengan gagahnya. Di
kejauhan, nampak Darling Harbour bermandi cahaya senja.
"Cindy, Honey, kenapa kamu mau membela aku di pengadilan ? " tanyaku dalam
Bahasa Inggris yang paling santun. "Kamu lupa, my dear Tommy. Aku masih istrimu.
Aku masih sayang kamu, " Cindy menyahut mesra. Hatiku berdebar. "Hanya itu?"
tanyaku gelisah. "Tidak. Aku salut. Kamu begitu mencintai Islam, begitu
mencintai masjid. Kendati kerap diintimidasi dan dihina. Dalam lima tahun perkawinan kita, kamu
tak sekalipun meninggalkan shalat. Aku-lah yang jarang shalat.
"Honestly, kami di sini sudah lama tak peduli dengan agama. Buat kami agama
adalah ilusi. Agama tak lebih dari urusan pribadi. Di negara ini ada dua
pertanyaan yang tabu, kamu juga tahu, agama dan status pernikahan. Karena itu,
jika ada orang yang patuh dengan ajaran agamanya kami sangat penasaran. Apa yang
membuat dia komit dengan Tuhan-nya?" Kata-kata itu diucapkannya perlahan.
"Honey, engkau telah membuat mataku terbuka. Mungkin, memang sudah saatnya
aku mengikuti langkahmu." Aku terharu. Matahari senja 1 Syawal 1423 H bersinar
semakin temaram.
Chicago, 13 November 2002